Jumat, 26 Desember 2014

PUPUS

Diposting oleh Unknown di 04.40


Sinar mentari pagi tersenyum manis ditemani awan putih bersih di dekatnya, tetesan embun nampak riang berjatuhan dari daun- daunan diiringi merdunya kicauan burung yang saling bersautan, angin tak mau kalah dia menghembuskan dirinya sehingga udara di hari itu terasa sejuk. Di tengah cuaca sejuk itu, nampak seorang siswi SMP perempuan bernama Isni turun dari motor kekasihnya di pertigaan dekat sekolah. Sang kekasih bernama Erul, seorang anak SMA kelas I, sedangkan Isni kelas III SMP.
Awal pertemuan mereka dimulai ketika Isni sedang pergi berjalan- jalan bersama temannya Rida ke salah satu tempat wisata, saat Isni dan Rida berkeliling tempat wisata, mereka melihat Erul juga di sana bersama temannya, kebetulan Erul merupakan teman SD Rida, jadi saat bertemu, Erul menyapa Rida dan di saat itulah Rida memperkenalkan Isni kepada Erul. Melalui pertemuan singkat itulah hubungan Isni dan Erul berkembang, setelah saling mengenal, mereka bertambah dekat dan mulai tertarik satu sama lain. Puncaknya Erul menyatakan cintanya pada Isni di hari ulang tahunnya 9 april di sebuah tempat wisata dan memberi hadiah boneka whinnie the pooh kesukaanya.
Isni yang juga menyukai Erul langsung menerima pernyataan cinta Erul, akhirnya mereka resmi berpacaran. Erul merupakan cinta pertama bagi Isni. Isni merasa Erul tampak sempurna, dia tampan, tinggi, putih, baik, perhatian dan romantis. Hari- hari yang dia jalani dengan Erul semenjak berpacaran benar- benar membuatnya bahagia, banyak hal yang dia lakukan bersama Erul yang penuh dengan kenangan manis yang berkesan dan berharga.
Hampir 1 bulan sejak mereka berpacaran, Isni selalu diantar Erul ke sekolah, dia sebenarnya bahagia, tapi dia juga cemas karena sekolahnya melarang siswa berpacaran, bahkan setiap pagi gurunya sudah siap di depan sekolah untuk menanti dan diam- diam mengawasi siswanya yang mungkin pagi-pagi sudah berani berpacaran. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk mengatakan kepada Erul tentang perasaanya.
“Terimakasih sudah mengantarkanku ke sekolah. Emm…Apakah aku tidak menyusahkanmu? Setiap pagi kamu selalu mengantarkanku ke sekolah, padahal arah sekolah kita berlawanan dan lagi apakah kamu tidak terlambat ke sekolah, aku dengar kamu sering terlambat ke sekolah dan bolos, apa itu benar? Apa itu karenaku? Jangan begitu, aku berharap kamu berubah, kamu lebih mementingkan sekolahmu. Tidak perlu kamu mengantarkanku ke sekolah aku bisa menggunakan bus, setiap hari aku juga harus turun di pertigaan ini, karena aku khawatir guruku menangkap basah kita” kata Isni sebelum Erul beranjak pergi ke sekolahnya
“Iya, aku mengerti” ucap Erul singkat lalu menjalankan motornya menjauhi Isni.
Sesampainya di kelas, Isni curhat pada Rida, dia menjelaskan semuanya. Rida terlihat tidak percaya dengan ucapan Isni.
“Kamu bodoh, seharusnya kamu lebih menjaga perkataanmu kepada Erul. Dia telah berkorban untuk kamu. Ya memang perkataan kamu benar, tapi kamu harus bisa menghargai dia juga” kata Rida kepada Isni
Rida lalu menjauh dari Isni. Hubungan keduanya menjadi canggung karena perkataan Rida tadi. Andai saja Isni saat itu membawa handphone dia pasti sudah mengirim pesan meminta maaf pada Erul atas ucapanya tadi meskipun dia akan di poin karena sekolahnya tidak membolehkan dia membawa handphone dia tidak apa- apa.
Pulang sekolah, Isni yang biasa bersama Rida, sekarang hanya sendiri dan Erul yang biasa menjemputnya juga tak menjemputnya. Dia benar- benar pusing hari itu. Sesampainya di rumah dia langsung membuka handphone, tidak ada pesan dari Erul sama sekali. Dia benar- benar kecewa ternyata Erul kekanak kanakan, mudah tersinggung dan marah, hanya dengan kata- kata Erul berubah, Erul tidak memikirkan perasaanya,
Hari itu terlewat begitu saja seperti angin yang berhembus tanpa membekas sama sekali. Begitu pula hari- hari berikutnya bahkan malam minggu yang menjadi hari kebiasaan mereka bertemu dirasa Isni sepi dan hampa. Isni mengalah, dia mengirimi Erul pesan.
“Maaf, aku bodoh” kata Isni spontan
Isni marah karena pesannya hanya dibalas “Y” saja. Dia lalu meminta Erul menjelaskan semuanya. Apa dia marah? Kenapa dia marah? Apa Salahnya?
Sayangnya Erul tidak membalasnya. Perasaan Isni sangat berkecamuk, dia ingin mencurahkan perasaan hatinya pada Rida tapi hubungannya dengan Rida sahabatnya juga sedang bermasalah. Dia bertambah bingung. Karena penasaran, dia semakin protektif pada Erul, dia menanyai apapun tentang Erul pada orang yang dia kenal yang berada di dekat pacarnya itu, dia selalu mengintip akun social medianya tapi tidak ada kejelasan apapun, semua itu percuma. Akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya saja secara sepihak.
“Hubungan kita rasanya cukup sampai di sini saja. Kita tak mungkin terus bersama lagi, karena kenyataan telah memberikan jawabannya. Terimakasih untuk semua kenangan yang telah engkau berikan” pesan Isni untuk Erul
“Baiklah” jawab Erul
“Apa hanya itu balasanmu, kamu jahat, bahkan hubungan kita berakhir tanpa ada kejelasan, kamu egois, hanya karena kata- kata semua berakhir, aku fikir kata- kataku juga tidak terlalu bersalah” kata Isni
“Ya, aku tahu. Tapi kamu lebih egois, kemana kamu selama 1 bulan terakhir ini, disaat aku butuh perhatian kamu, hanya untuk 1 sms pertama dari kamu aku harus menunggu 1 bulan, kenapa harus aku yang selalu mengirim pesan dulu ke kamu” kata Erul
Perdebatan terus terjadi antara keduanya, mereka sama- sama tak mau kalah. Tapi akhirnya Isni mengaku salah, dia meminta maaf karena dia semuanya terjadi. Dia ingin diperhatikan tapi tak bisa memperhatikan dia egois dan dia tidak bisa menjaga kata- katanya tapi Erul juga salah jika dia mencintai Isni seharusnya dia tidak menguji Isni seperti itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk putus saja karena mereka merasa belum dewasa untuk menjalankan apa itu pacaran. Isni selanjutnya meminta maaf pada Rida dan mengatakan semuannya sudah terjadi, dia tidak akan menyesali keputusannya, jika dia berjodoh dengan Erul dia pasti akan dipersatukan kembali. Rida menyetujui pendapat Isni.

0 komentar:

Posting Komentar

 

STUPID ENJOY DIARY Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos